Sabda Rasululullah SAW, "Akan
datang kepada umat ini suatu masa nanti ketika orang-orang menghalalkan riba
dengan alasan: aspek perdagangan" (HR Ibnu Bathah, dari Al
'Auzai)[1].
Pengantar
Dalam kehidupan kaum Muslimin yang semakin
sulit ini, memang ada yang tidak memperdulikan lagi masalah halal dan haramnya
bunga bank. Bahkan ada pendapat yang terang-terangan menghalalkannya. Ini
dikarenakan keterlibatan kaum Muslimin dalam sistem kehidupan
Sekularisme-Kapitalisme Barat serta sistem Sosialisme-Atheisme. Bagi yang
masih berpegang teguh kepada hukum Syariat Islam, maka berusaha agar
kehidupannya berdiri di atas keadaan yang bersih dan halal. Namun karena umat
pada masa sekarang adalah umat yang lemah, bodoh, dan tidak mampu
membeda-bedakan antara satu pendapat dengan pendapat lainnya, maka mereka saat
ini menjadi golongan yang paling bingung, diombang-ambing oleh berbagai
pendapat dan pemikiran.
Dalam
tulisan yang singkat ini, ada beberapa aspek yang ingin diketengahkan tentang
seputar masalah riba :
Pertama, bunga riba dalam tinjauan sejarah. Akan
dijelaskan secara singkat peran Bani Israil dan tingkah laku mereka dalam
masalah riba.
Kedua, diketengahkan kelakuan orang-orang Yahudi dalam mengubah syariatnya
sendiri (Hukum Allah SWT). Secara singkat akan dipaparkan peran kaum Yahudi
dalam menghalalkan riba.
Ketiga, masih dalam kerangka tingkah laku kaum Yahudi,
diceritakan juga serba sedikit usaha-usaha mereka dalam membangun jaringan kehidupan
dalam bidang ekonomi dan keuangan dunia, khususnya dalam bidang moneter dan
perbankan.
Keempat, mengetengahkan bagaimana bank pada awalnya
berdiri, serta keterlibatan umat Islam Indonesia dalam masalah perbankan
pada dekade awal abad XX sampai sekarang.
Kelima, mengetengahkan usaha-usaha para tokoh masyarakat
Islam (intelektual dan kaum modernis) dalam menghalalkan riba (bunga) bank.
Keenam, mengetengahkan hukum riba yang tetap haram
sampai Hari Kiamat.
Riba dan Yahudi dalam Tinjauan Sejarah
Sejak
dahulu, Allah SWT telah mengharamkan riba. Keharamannya adalah abadi dan tidak
boleh diubah sampai Hari Kiamat. Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam syariat
Nabi Musa as, Isa as, sampai pada masa Nabi Muhammad saw. Tentang hal tersebut,
Al Qur-aan telah mengabarkan tentang tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum
Allah SWT akibat tindakan kejam dan amoral mereka, termasuk di dalamnya
perbuatan memakan harta riba. Firman Allah SWT:
"....disebabkan oleh kezhaliman orang-orang
Yahudi, maka Kami telah haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik
(yang dahulunya) telah dihalalkan bagi mereka; dan (juga) karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah; serta disebabkan mereka memakan
riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang memakannya, dan mereka
memakan harta dengan jalan yang bathil (seperti memakan uang sogok, merampas
harta orang yang lemah. Kemudian) Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir
di antara mereka itu siksa yang pedih" (QS An Nisaa' : 160-161).
Dalam
sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu berusaha dengan segala
cara menghalangi manusia untuk tidak melaksanakan syariat Allah SWT. Mereka
membunuh para nabi, berusaha mengubah bentuk dan isi Taurat dan Injil, serta
menghalalkan apa saja yang telah diharamkan Allah SWT, misalnya menghalalkan
hubungan seksual antara anak dengan ayah, membolehkan adanya praktek sihir,
menghalalkan riba sehingga terkenallah dari dahulu sampai sekarang bahwa
antara Yahudi dengan perbuatan riba adalah susah dipisahkan. Tentang eratnya
antara riba dengan gerak kehidupan kaum Yahudi, kita dapat mengetahuinya di
dalam kitab suci mereka:
"Jikalau kamu memberikan pinjaman uang kepada
umatku, yaitu kepada orang-orang miskin yang ada di antara kamu, maka janganlah
kamu menjadikan baginya sebagai orang penagih hutang yang keras, dan janganlah
mengambil bunga daripadanya" (Keluaran, 22:25).
Dalam
kitab Imamat (orang Lewi), tersebut pula larangan yang senada. Pada kitab
tersebut disebutkan agar orang-orang Yahudi tidak mengambil riba dari kalangan
kaumnya sendiri:
"Maka jikalau saudaramu telah menjadi miskin
dan tangannya gemetar besertamu ....., maka janganlah kamu mengambil
daripadanya bunga dan laba yang terlalu (besar)...... jangan kamu memberikan
uangmu kepadanya dengan memakai bunga ....." (Imamat 35-37).
Jelaslah di dalam ayat-ayat tersebut bahwa
orang-orang Yahudi telah dilarang memakan riba (bunga). Namun dalam
kenyataannya, mereka membangkang dan mengabaikan larangan tersebut. Mengapa
mereka demikian berani melanggar ketentuan hukum Taurat itu? Dalam hal ini,
Buya Hamka (alm) mengutip dari buku Taurat pada kitab Ulangan pasal 23 ayat 20[2] :
"Maka
dari bangsa lain, kamu boleh mengambil bunga (riba). Tetapi dari saudaramu,
maka tidak boleh kamu mengambilnya supaya diberkahi Tuhan Allahmu, agar kamu
dalam segala perkara tanganmu mampu memegang negeri, (seperti) yang kamu tuju
(cita-citakan) sekarang adalah hendaklah (kamu) mengambilnya sebagai bagian
dari harta pusakamu".
Berdasarkan
kutipan di atas, Buya Hamka menarik kesimpulan bahwa ayat tersebut telah
menjadi pegangan kaum Yahudi sedunia sampai sekarang. Mereka, biarpun tidak
duduk pada kursi pemerintahan di suatu negeri, tetapi merekalah yang justru
menguasai pemerintahan negeri tersebut melalui bentuk pinjaman ribawi
(membungakan uangnya) yang menjerat leher.
Yahudi dan Penguasaan Moneter Internasional
Dalam
sebuah penggalan naskah Protokolat, yaitu berupa strategi jahat Yahudi,
disebutkan bahwa kebangkrutan berbagai negara di bidang ekonomi adalah hasil
kreasi gemilang mereka, misalnya dengan kredit (pinjaman) yang menjerat leher
negara non-Yahudi yang makin lama makin terasa sakit. Mereka katakan bahwa
bantuan luar negeri yang telah dilakukan boleh dikatakan laksana seonggok
benalu yang mencerap habis segenap potensi perekonomian negara tersebut[3].
Memang
dalam kenyataannya pada masa sekarang, orang-orang Yahudi telah berhasil
menguasai sistem moneter internasional, khususnya dalam bidang perbankan.
Misalnya, penguasaan mereka terhadap pusat keuangan di Wallstreet (New York). Tempat ini
merupakan pangsa bursa (uang) terbesar di dunia. Sirkulasi keuangan di Amerika
Serikat telah dikuasai oleh orang-orang Yahudi sejak awal abad XX sampai
sekarang.
Di samping
itu, mereka juga menguasai bidang-bidang industri (yang umumnya dibutuhkan oleh
orang banyak), perdagangan internasional (dalam bentuk perusahaan-perusahaan
raksasa), yang tersebar di seluruh Amerika, Eropa dan negeri-negeri di Asia dan
Afrika. Sebagai misal, di Amerika, orang-orang Yahudi menguasai perusahaan General
Electric, Fairstone, Standard Oil, Texas dan Mobil Oil. Dalam
perdagangan valuta asing, maka setiap 10 orang broker, sembilan di antaranya
adalah orang-orang yahudi.
Di
Perancis, sebagian saham yang tersebar di berbagai bidang kehidupan adalah milik orang-orang Yahudi. Dalam
menghancurkan moral di suatu negeri, orang-orang Yahudi dan antek-anteknya ikut
andil; misalnya mengelola usaha Kasino, Nigth Club, atau perdagangan obat bius.
Umat Islam Indonesia dan Perbankan
Sistem
perbankan telah muncul di dunia Islam sejak kedatangan penjajah Barat menyerbu
ke berbagai negeri Islam. Di negeri-negeri jajahannya, mereka menerapkan sistem
ekonomi Kapitalisme yang bertumpu kepada sistem perbankan (riba).
Di
Indonesia muncul bank pertama, yaitu Bank Priyayi, tahun 1846 di Purwokerto,
dengan pendirinya Raden Bei Patih Aria Wiryaatmaja dari kalangan keraton.
Kemudian secara meluas di berbagai daerah, berdiri Bank Rakyat (Volksbank);
antara lain di Garut (1898), Sumatera Barat (1899), dan Menado (1899).
Dalam
menanamkan sistem perbankan ini, penjajah Belanda mendirikan Sentral Kas,
tahun 1912, yang berfungsi sebagai pusat keuangan. Dari kalangan intelektual,
didirikanlah Indonesische Studie Club di Surabaya tahun 1929. Kemudian
Belanda, dalam menyuburkan sistem riba, mendirikan Algemene Volkscredit Bank
(AVB) tahun 1934.
Pada
tahun-tahun pertama setelah terusirnya pejajah Belanda dari Indonesia,
didirikanlah Yayasan Pusat Bank Indonesia tahun 1945, yang menjadi cikal bakal
Bank Indonesia sekaligus memberikan rekomendasi pendirian bank-bank yang ada.
Melalui PP No.1, tahun 1946, lahirlah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada tahun
yang sama, menyusul berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. Kemudian
jumlah bank semakin bertambah banyak. Di antaranya Bank Industri Negara (BIN,
1952), Bank Bumi Daya (BBD, 19 Agustus 1959). Bank Pembangunan Industri (BPI,
1960), Bank Dagang Negara (BDN, 2 April 1960), Bank Export-Import Indonesia (Bank
Exim) yang dinasionalisasikan pada 30 Nopember 1960. Pada tahun-tahun
berikutnya sampai sekarang, dunia perbankan tumbuh seperti jamur di musim
hujan.
Secara
garis besar, dunia perbankan di Indonesia
didominasi oleh bank-bank yang menjadi Badan Usaha Milik Negara/BUMN (misalnya
BNI 1946, BRI, BDN) dan bank-bank milik swasta. Untuk yang pertama, jumlahnya
tidak terlalu banyak. Tetapi untuk yang kedua, ia terbagi ke dalam tiga
kategori; yaitu swasta asli Indonesia (misalnya Bank Susila Bakti, Bank Arta
Pusara, Bank Umum Majapahit), swasta merger bank luar (misalnya Lippo Bank,
BCA, Bank Summa), dan bank luar tulen (misalnya Chase Manhattan, Deutsche
Bank, Hongkong Bank, Bank of America).
Untuk
melihat perkembangan perbankan di Indonesia, saat ini telah dibangun
sejumlah 2652 bank (tidak termasuk BRI dan BRI Unit Desanya). Menurut standard
Amerika ditilik dari jumlah penduduk Indonesia, maka negeri ini masih
memerlukan 7800 bank lagi.
Sistem Perbankan dan Organisasi Keagamaan
Sebelum
tahun 1990-an umat Islam Indonesia
belum terlibat langsung. Sistem ini sejak dahulu hanya diminati oleh kalangan
konglomerat. Namun sejak diadakan penandatangan kerja sama antara Bank Summa
dengan Organisasi keagamaan NU tanggal 2 Juni 1990, maka umat Islam Indonesia
telah mulai dilibatkan langsung dalam praktek perbankan. Dalam perjanjian
kerjasama tersebut telah disepakati untuk didirikan sebanyak 2000 buah Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) di seluruh Indonesia. Namun sebelumnya BPR
telah berdiri tanggal 25 Februari 1990. BPR ini memberikan pinjaman kredit
sebesar antara 100.000 sampai 500.000 rupiah dengan bunga 2,25% per bulan,
untuk pengusaha /pedagang kecil, petani, dan untuk umum kredit tersebut
berkisar antara 25 sampai 200 juta rupiah.
Rencana
NU untuk mendirikan BPR sesungguhnya bukan masalah baru lagi. Ide itu telah ada
dan dibahas berulang-ulang dalam berbagai kesempatan kongres besar NU. Pada
awalnya NU mengharamkannya; kemudian memberikan alternatif fatwa yaitu haram,
halal dan subhat; dan terakhir tanggal 22 Juli 1990, NU melalui Abdurrahman
Wahid sebagai PB NU telah menghalalkannya.
Fatwa
NU ini lalu diikuti oleh Muhammadiyah melalui AS Projokusumo (sebagai PB
Muhammadiyah). Alasan yang dikemukannya adalah karena fatwa tersebut diputuskan
melalui perdebatan para ulama yang dikenal telah mendalami masalah-masalah
hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia, melalui KH Hasan Basri, menyambut baik
keputusan NU ini. Menurut beliau, keputusan tersebut dikeluarkan atas dasar
musyawarah para ulama yang memahami hukum Islam.
Fatwa
ini menimbulkan reaksi antara yang pro dan kontra di kalangan ulama dan
intelektual Muslim. Dari kubu yang tidak setuju, muncullah pernyataan dari
Dekan Fakultas Syariah IAIN Jakarta, Dr Peunoh Daly. Ia berkata bahwa bank
yang dibentuk oleh NU maupun Muhammadiyah seharusnya bank yang Islami, bukan
bank yang hanya menjadi alat untuk pemerataan riba. Beliau menandaskan bahwa
sampai sekarang belumlah ada bank yang bersifat Islami di Indonesia. Ia merasa
heran mengapa sistem muamalah yang telah diatur oleh Islam, yaitu sistem
muamalah mudlarabah, qiradh dan salam itu tidak dihidupkan. "Akibatnya,
umat Islam terjerat ke dalam sistem bank yang mengandung riba",
celanya.
Di
kalangan NU sendiri, ternyata ada suara yang tidak puas atas fatwa ini.
Kalangan fungsionaris Syuriah PB NU, misalnya, menilai bahwa fatwa tersebut
tidak sejalan dengan garis kebijakan mereka. Sebab, menurut mereka, NU
seharusnya membentuk bank muamalah mudlarabah (berdagang bersama yang saling
menguntungkan), bukan bank umum yang lebih cenderung menganut sistem rente.
Bagaimana silang pendapat di kalangan intelektual dan ulama modernis di
negeri ini? Sesuaikah pendapat mereka dengan ketentuan syara'? Dapatkah
pendapat mereka diterima? Lebih jauh dari itu, apakah mereka boleh disebut mujtahid
atau lebih baik disebut sebagai muqallid?
Pendapat Intelektual dan Ulama Modernis
Di
antara pekerjaan yang dikelola bank, maka yang menjadi topik permasalahan dalam
Fikih Islam adalah soal bunga (rente) bank. Sebab, secara umum tujuan usaha
bank adalah untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan kredit. Bank
memberikan kredit kepada orang luar dengan memungut bunga melalui pembayaran
kredit (yang jumlahnya lebih besar dari besarnya kredit). Selisih pembayaran
yang biasanya disebut bunga, itulah yang menjadi keuntungan usaha bank.
Dalam
masalah ini, para intelektual dan ulama modernis mempunyai pendapat yang
berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang mereka. Ada segolongan dari mereka
yang mengharamkannya karena bunga bank tersebut dipandang sebagai riba. Tetapi
segolongan lainnya menghalalkannya.
Ke dalam kubu pertama (yang mengharamkan bunga
bank), tersebutlah Mahmud Abu Saud (Mantan Penasehat Bank Pakistan), berpendapat
bahwa segala bentuk rente (bank) yang terkenal dalam sistem perekonomian sekarang
ini adalah riba[4].
Lalu kita juga mendengar pendapat Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam
pada Fakultas Hukum Universitas Cairo yang memandang bahwa riba Nasi'ah sudah
jelas keharamannya dalam Al Qur-aan. Akan tetapi banyak orang yang tertarik
kepada sistem perekonomian orang Yahudi yang saat ini menguasai perekonomian
dunia. Mereka memandang bahwa sistem riba itu kini bersifat darurat yang
tidak mungkin dapat dielakkan. Lantas mereka mena'wilkan dan membahas makna
riba. Padahal sudah jelas bahwa makna riba itu adalah riba yang dilakukan oleh
semua bank yang ada dewasa ini, dan tidak ada keraguan lagi tentang
keharamannya[5].
Buya Hamka[6] secara sederhana memberikan
batasan bahwa arti riba adalah tambahan. Maka, apakah ia tambahan lipat-ganda,
atau tambahan 10 menjadi 11, atau tambahan 6% atau tambahan 10%, dan
sebagainya, tidak dapat tidak tentulah terhitung riba juga. Oleh karena itu,
susahlah buat tidak mengatakan bahwa meminjam uang dari bank dengan rente
sekian adalah riba. (Dengan demikian) menyimpan dengan bunga sekian (deposito)
artinya makan riba juga.
Ke
dalam kubu kedua (yang menghalalkan bunga bank), peminatnya kebanyakan berasal
dari kalangan intelektual dan ulama modernis. Mereka memandang bahwa bunga
bank yang berlaku sekarang ini dalam batas-batas yang wajar, tidaklah dapat
dipandang haram. Tersebutlah A. Hasan[7], salah seorang pemuka
Persatuan Islam (Persis), yang mengemukakan bahwa riba yang sudah tentu
haramnya itu ialah yang sifatnya berganda dan yang membawa (menyebabkan) ia
berganda. Menurut beliau, riba yang sedikit dan yang tidak membawa kepada
berganda, maka itu boleh. Ia menambahkan bahwa riba yang tidak haram adalah
riba yang tidak mahal (besar) dan yang berupa pinjaman untuk tujuan berdagang,
bertani, berusaha, pertukangan dan sebagainya, yakni yang bersifat produktif.
Drs
Syarbini Harahap[8]
berpendapat bahwa bunga konsumtif yang dipungut oleh bank tidaklah sama dengan
riba. Karena, menurutnya, di sana tidak terdapat unsur penganiayaan. Adapun
jika bunga konsumtif itu dipungut oleh lintah darat, maka ia dapat dipandang
sebagai riba. Sebab, praktek tersebut memberikan kemungkinan adanya
penganiayaan dan unsur pemerasan antarsesama warga masyarakat, mengingat
bahwa lintah darat hanya mengejar keuntungan untuk dirinya sendiri. Adapun jika
bunga tersebut dipungut dari orang yang meminjam untuk tujuan-tujuan yang
produktif seperti untuk perniagaan, asalkan saja tidak ada dalam teknis
pemungutan tersebut unsur paksaan atau pemerasan, maka tidaklah salah dan tidak
ada keharaman padanya.
Pernyataan Syarbini Harahap ini dalam perkembangan selanjutnya, ternyata
sama nadanya dengan apa yang difatwakan NU via Abdurrahman wahid, atau lewat
pernyataan Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Hatta, Kasman Singodimejo, dan
lain-lain.
Bertolak dari alasan bahwa transaksi kredit merupakan kegiatan
perdagangan dengan uang sebagai komoditi, Dawan Rahardjo[9], mengatakan bahwa kalau
transaksi kredit dilakukan dengan prinsip perdagangan (tijarah), maka
hal tersebut dihalalkan. Riba yang tingkat bunganya berlipat ganda dan
diharamkan itu perlu digantikan dengan mekanisme perdagangan yang dihalalkan.
Berbagai pendapat dan fatwa yang berani tersebut dalam upaya
menghalalkan riba dalam bentuk bunga bank telah melibatkan jutaan kaum Muslimin
ke dalam kegiatan perbankan. Walaupun demikian masih terdapat jutaan lainnya
yang membenci praktek dan menjauhi dari memakan harta riba. Kebencian mereka
terhadap praktek riba tersebut sama halnya dengan kebencian mereka memakan
daging babi. Oleh karena itu masih banyak kalangan kaum Muslimin yang tidak mau
meminjam dan menyimpan uang di bank karena takut terlibat riba, walaupun di
kalangan kaum Muslimin tidak banyak mengerti sejauh mana aspek hukum dan
kegiatan perbankan, serta banyak pula di antara mereka yang bingung terhadap
hukum yang sebenarnya tentang riba (bunga) bank. Itulah fakta tentang keadaan
umat Islam setelah umat ini diragukan dan dikaburkan pengertian mereka terhadap
riba (bunga) bank.
Bolehkan Kita Menghalalkan Riba ?
Orang
Islam yang awam sekalipun pasti tahu bahwa memakan harta riba adalah dosa
besar. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa memakan harta riba termasuk
dosa yang paling besar setelah dosa syirik, praktek sihir, membunuh, dan
memakan harta anak yatim[10]. Malah dalam sebuah
Hadits lainnya disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali lebih
besar dosanya dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul SAW bersabda [11]:
"Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang
dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di
dalam Islam (setelah masuk Islam)" (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).
Oleh karena itu, tidak ada satupun
perbuatan yang lebih dilaknat Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT
memberikan peringatan yang keras bahwa orang-orang yang memakan riba akan
diperangi (QS Al Baqarah : 279).
Jika
pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi
sebelum Rasulullah saw wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba (QS Al
Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzul-nya merupakan
ayat-ayat terakhir dari Al Qur-aan. Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut
ditegaskan bahwa riba, baik kecil maupun besar, berlipat ganda atau tidak, maka
ia tetap diharamkan sampai Hari Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari
rangkaian ayat-ayat tersebut, Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba,
termasuklah di antaranya riba (bunga) bank:
"Mereka berkata (berpendapat bahwa)
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan telah mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada
mereka larangan tersebut dari Rabbnya lalu berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya (dipungut) pada waktu dulu (sebelum
datangnya larang ini) dan urusannya (terserah) Allah. Sedangkan bagi
orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang-orang tersebut adalah
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya" (QS Al Baqarah : 275).
Dalam
hal ini, Ibnu Abbas berkata[12]:
"Siapa saja yang masih tetap mengambil riba
dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam
(Kepala Negara Islam) untuk menasehati orang-orang tersebut. Tetapi kalau
mereka masih tetap membandel, maka seorang Imam dibolehkan memenggal
lehernya".
Juga Al
Hasan bin Ali dan Ibnu Sirin berkata[13]:
"Demi Allah, orang-orang yang
memperjualbelikan mata-uang (money changer) adalah orang-orang yang memakan riba.
Mereka telah diingatkan dengan ancaman akan diperangi oleh Allah dan RasulNya.
Bila ada seorang Imam yang adil (Kepala Negara Islam), maka si Imam harus
memberikan nasehat agar orang tersebut bertaubat (yaitu meninggalkan riba).
Bila orang-orang tersebut menolak, maka mereka tersebut wajib diperangi".
Apa
sesungguhnya riba itu? Secara global dapatlah disebutkan bahwa definisi riba
adalah :
"Tambahan yang terdapat dalam akad yang
berasal dari salah satu pihak, baik dari segi (perolehan) uang, materi/barang,
dan atau waktu, tanpa ada usaha dari pihak yang menerima tambahan
tersebut".
Definisi ini kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba, baik
yang pernah ada pada masa jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasi'ah, riba Al Qardh),
maupun riba yang ada pada masa sekarang ini, seperti riba bank yang mencakup
bunga dari pinjaman kredit, investasi deposito, jual-beli saham dan surat
berharga lainnya, dan atau riba jual-beli barang dan uang. Untuk riba yang
terakhir ini contohnya banyak dan dapat berkembang pada setiap masa.
Berdasarkan definisi ini, maka walaupun nama dan jenisnya berbeda namun
riba dapat mencakup banyak macam yang kiranya melebihi 73 macam menurut
keterangan dari Hadits Rasulullah saw. Rasulullah saw melalui penglihatan ghaib
yang bersandarkan kepada wahyu, telah mengetahui bahwa suatu saat nanti umat
Islam akan menghalalkan riba dengan alasan perdagangan (bisnis), seperti yang
tertera pada hadits pembuka tulisan ini. Lebih dari itu, beliau telah
diberitahukan bahwa riba pada masa yang akan datang (misalnya zaman sekarang
dan seterusnya) akan meliputi berbagai aktivitas bidang kehidupan ekonomi dan
keuangan yang akhirnya akan melibatkan seluruh kaum Muslimin. Sabda Rasulullah
saw:
"Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan
(dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti
seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri..." (HR Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim,
Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas'ud, dengan sanad yang shahih).
Juga
sabda Rasulullah saw:
"Sungguh akan datang pada manusia suatu masa
(ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta)
riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena
debu (riba)nya"
(HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu
Hurairah).
Semua
dalil di atas menunjukkan bahwa segala bentuk dan jenis riba adalah haram tanpa
melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa jahiliyah atau riba yang
muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan pada ayat 275 surat Al Baqarah
tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya mencakup semua bentuk dan jenis
riba; baik yang nyata maupun tersembunyi, sedikit persentasenya atau berlipat
ganda, konsumtif maupun produktif.
Lafazh
yang bersifat umum menurut kaidah Ushul Fiqih tidaklah boleh dibatasi dan
disempitkan pengertiannya. Kaidah Ushul itu berbunyi:
"Lafazh umum akan tetap bersifat umum selama
tidak terdapat dalil (syar'iy) yang mentakhsishkannya (yang mengecualikannya)".
Dalam
hal ini tidak terdapat satu ayat maupun hadits yang menghalalkan sebagian dari
bentuk dan jenis riba (misalnya riba produktif), dan atau hanya mengharamkan
sebagian yang lainnya (misalnya riba yang berlipat ganda, konsumtif, riba
lintah darat). Dengan demikian, telah jelas bagi kita bahwa semua bentuk dan
jenis riba adalah haram dan tetap haram sampai Hari Kiamat. Oleh karena itu,
atas dasar apa para intelektual dan ulama modernis sampai berani menghalalkan
riba bunga bank? Mereka telah berani membeda-bedakan halal-haramnya
berdasarkan sifat konsumtif dan produktif, padahal Allah SWT dan Rasul-Nya
tidak pernah membeda-bedakan bentuk dan jenis riba. Tidak ada satupun illat
(sebab ditetapkannya hukum) bagi keharaman riba. Apakah kaum intelektual dan
ulama modernis ingin mengubah hukum Allah SWT dari haram menjadi halal hanya
karena faktor kemaslahatan, semisal untuk pembangunan, mengatasi kemiskinan;
atau karena pada masa sekarang kegiatan perbankan yang berlandaskan kepada
aktivitas riba sudah merajalela dalam masyarakat kaum Muslimin?
Barangkali kaum intelektual dan ulama modernis tidak takut lagi kepada
ancaman dan siksa dari Allah SWT:
"Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan
bentuk riba di suatu kampung, maka benar-benar orang sudah mengabaikan (tak
perduli) sama sekali terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka (pada
suatu saat nanti)"
(HR Thabrani, Al Hakim, dan Ibnu Abbas; Lihat Yusuf An Nabahani, Fath Al
Kabir, Jilid I, halaman 132).
Pendapat dan fatwa yang muncul dari kalangan intelektual dan ulama
modernis sesungguhnya tidak pada tempatnya dan tidak pula memenuhi syarat bagi
orang yang berwenang untuk berijtihad serta tidak layak disebut sebagai ulama
mujtahid. Oleh karena itu mereka tidak berhak mengeluarkan fatwa, apalagi untuk
mengubah hukum Allah SWT dan Rasul-Nya !
Umat
Islam diperintahkan untuk menolak setiap fatwa yang tidak berlandaskan kepada
syariat Islam. Kita wajib menolaknya, bahkan wajib dicegah setiap hukum yang
berlandaskan kepada akal dan hawa nafsu. Sebab, manusia tidak berhak menentukan
satu hukumpun. Ia harus tunduk kepada hukum
Allah SWT dan RasulNya semata. Bila kita menaati intelektual dan ulama
modernis yang menghalalkan riba, maka itu sama artinya kita menjadikan mereka
sebagai Tuhan yang disembah. Itulah yang pernah dikatakan oleh Rasulullah saw
kepada 'Adiy bin Hatim, ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT:
"Mereka mengangkat pendeta-pendeta dan
rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al
Masih putra Mariyam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Satu:
Tiada Tuhan kecuali Dia. Maha Suci
(Allah SWT) dari yang mereka persekutukan" (QS At Taubah : 31).
Kemudian Adiy bin Hatim berkata :
"Kami tidak menyembah mereka (para Rahib dan
Pendeta) itu". Rasulullah menjawab: "Sesungguhnya mereka telah
menghalalkan apa yang telah dahulu diharamkan, mengharamkan apa yang telah
dihalalkan, lalu kalian menaati mereka. Itulah bentuk penyembahan kalian
terhadap mereka"
(HR Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir, dari 'Adiy bin Hatim. Lihat Tafsir
Ibnu Katsir, Jilid I, halaman 349).
Apakah
umat Islam ingin menjadikan ulama seperti di atas sebagai Tuhan sesembahan yang
berhak menentukan halal dan haramnya sesuatu perbuatan?
Ya Allah, kami sudah
menyampaikannya. Saksikanlah ! [ ]
[1]
Lihat Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Ighatsatu
Al Lahfan, Jilid I, halaman 352.
[2] Lihat Hamka, Tafsir Al Azhar,
Juz VI halaman 64.
[3]Lihat Dr Majid Kailani, Bahaya
Zionisme, hal. 25-dst.
[4] Lihat
Dr H Hamzah Ya'cub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, halaman 194.
[5]
Lihat Dr H Hamzah Ya'cub, ibid, halaman 195. Lihat juga pada halaman-halaman selanjutnya
pendapat Afif Abdul Fattah Thabarah, Muhammad Munir Ad Dimasyqi, Dr Yusuf
Musa, HM Bustami Ibrahim, Keputusan NU tanggal 25 Desember 1958 di Purwokerto
(halaman 194-196).
[6] Lihat Hamka, Tafsir Al Azhar,
Juz III, halaman 26.
[7]
Lihat A Hasan, Riba, halaman 62. Lihat juga dalam bukunya Soal
Jawab, Jilid II, halaman 678. Dalam buku ini secara terang-terangan beliau
berkata, "Bunga bank mesti kita ambil, dan kalau ada yang tidak suka
pada bunga itu maka tolong ambil dan kirimkan pada kami"
[8]
Lihat Drs Syarbini Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam,
halaman 130-153.
[9]
Lihat Majalah, Tempo, No 15, tahun XX - 9 Juni 1990, kolom hal
77.
[10]
HR Bukhari-Muslim, Abu Dawud, An Nasa'i, dari Abu Hurairah. Lihat Imam Al
Hafizh
Syamsuddin Az Zahabi, Al Kabair, halaman 8.
[11]
Ibid, halaman 64.
[12]
Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, halaman 331.
0 Response to "Bunga Bank adalah Riba"
Post a Comment