Tanya :
1. Bagaimana cara
mengqadha` puasa yang ditinggalkan? Masalahnya, belum sempat mengqadha’
ternyata bulan puasa sudah tiba kembali (08132xxxxxx).
2. Ustadz, kalau
belum bayar hutang puasa tahun kemarin, tapi sudah ketemu Ramadhan lagi,
bagaimana hukumnya? (081578xxxxxxx)
Jawab :
Barangsiapa yang
belum mengqadha puasa Ramadhan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadhan
berikutnya, maka harus dilihat dulu alasan penundaan (ta`khir) qadha
tersebut. Jika penundaan itu karena ada udzur (alasan syar’i), seperti sakit,
nifas, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. Demikian menurut seluruh
mazhab tanpa ada perbedaan pendapat, sebab yang bersangkutan dimaafkan karena
ada udzur dalam penundaan qadha`-nya.
Namun jika penundaan
qadha` itu tanpa ada udzur, maka para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat
:
Pendapat Pertama
, pendapat jumhur,
yaitu Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain berpendapat
orang tersebut di samping tetap wajib mengqadha`, dia wajib juga membayar
fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak
berpuasa. Fidyah ini adalah sebagai kaffarah (penebus) dari penundaan
qadha`-nya. Demikian penuturan Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni
Ma’a Asy-Syarh Al-Kabir, II/81 (Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhush
Shiyam, [Kairo : Darush Shahwah], 1992, hal. 64).
Pendapat pertama ini
terbagi lagi menjadi dua : (1) Menurut ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut
berulang dengan berulangnya Ramadhan (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala
al-Mazahib Al-Arba’ah Kitabush Shiyam (terj), hal. 109). (2) Sedangkan
menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak
berulang dengan berulangnya Ramadhan (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa
Adillatuhu, II/680).
Dalil pendapat
pertama ini, yakni yang mewajibkan fidyah di samping qadha karena adanya
penundaan qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya, adalah perkataan sejumlah
sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah (Imam Syaukani, Nailul
Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 872). Ath-Thahawi dalam masalah
ini meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam,"Aku mendapati pendapat ini dari
enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat
dengan mereka." (wajadtuhu ‘an sittin min ash-shahabati laa a‘lamu
lahum fiihi mukhalifan).(Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam
Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 210).
Imam Syaukani
menjelaskan dalil lain bagi pendapat pertama ini. Yaitu sebuah riwayat dengan
isnad dhaif dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW tentang seorang laki-laki yang
sakit di bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat namun tidak
mengqadha` hingga datang Ramadhan berikutnya. Maka Nabi SAW bersabda,"Dia
berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk
bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin
untuk setiap hari [dia tidak berpuasa]." (yashuumu alladziy adrakahu
tsumma yashuumu asy-syahra alladziy afthara fiihi wa yuth’imu kulla yaumin
miskiinan). (HR Ad-Daruquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul
Authar, hal. 871; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu,
II/689).
Pendapat Kedua,
pendapat Imam Abu
Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i, Imam al-Hasan Al-Bashri,
Imam Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan
bahwa orang yang menunda qadha` hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban
atasnya selain qadha`. Tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) (Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami
wa Adillatuhu, II/240; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam
Ash-Shiyam, hal. 210).
Dalil ulama
Hanafiyah ini sebagaimana dijelaskan Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul
Islami wa Adillatuhu (II/240). adalah kemutlakan nash Al-Qur`an yang
berbunyi "fa-‘iddatun min ayyamin ukhar" yang berarti
"maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain." (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Perlu ditambahkan
bahwa dalam masalah menunda qadha` (ta`khir al-qadha`), Imam Abu Hanifah
memang membolehkan qadha` puasa Ramadhan kapan saja walau pun sudah datang lagi
bulan Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nash Al-Baqarah : 183.
Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122, dinukilkan oleh
penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah berkata,"Kewajiban mengqadha puasa
Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu,
walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya." (wujuubu al-qadhaa`i
muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy).
Sedang jumhur
berpendapat bahwa penundaan qadha` selambat-lambatnya adalah hingga bulan
Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadhan berikutnya. Dalil pendapat jumhur
ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad
dari ‘A`isyah RA dia berkata,"Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa
yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya
Rasulullah SAW." (maa qadhaytu syai`an mimmaa yakuunu ‘alayya min
ramadhaana illaa sya’baana hatta qubidha rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa
sallama) (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam,
[Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 122).
Tarjih
Setelah mendalami
dan menimbang dalil-dalilnya, pendapat yang rajih (kuat) menurut
pemahaman kami adalah sebagai berikut :
Masalah Fidyah
Mengenai wajib
tidaknya fidyah atas orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga datang Ramadhan
berikutnya, pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Abu Hanifah,
Ibrahim An-Nakha`i, dan lain-lain. Pendapat ini menyatakan bahwa orang yang
menunda qadha` hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`, tidak wajib
membayar fidyah.
Hal itu dikarenakan
kewajiban membayar fidyah bagi orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga masuk
Ramadhan berikutnya, membutuhkan adanya dalil khusus dari nash-nash syara’.
Padahal tidak ditemukan nash yang layak menjadi dalil untuk kewajiban fidyah
itu. (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam,
hal.210).
Adapun dalil hadits
Abu Hurairah yang dikemukakan, adalah hadits dhaif yang tidak layak menjadi
hujjah (dalil). Imam Syaukani berkata,"…telah kami jelaskan bahwa tidak
terbukti dalam masalah itu satu pun [hadits shahih] dari Nabi SAW." (Imam
Syaukani, Nailul Authar, hal. 872). Yusuf al-Qaradhawi meriwayatkan
tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah
(I/232),"…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadits sahih] dari
Nabi SAW." (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hal. 64).
Pendapat beberapa
sahabat yang mendasari kewajiban fidyah itu, adalah dasar yang lemah. Sebab
pendapat sahabat --yang dalam ushul fiqih disebut dengan mazhab ash-shahabi
atau qaul ash-shahabi— bukanlah hujjah (dalil syar’i) yang layak menjadi
sumber hukum Islam. Imam Syaukani berkata,"Pendapat yang benar bahwa qaul
ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i]." (Imam Syaukani, Irsyadul
Fuhul, hal. 243). Imam Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan,"…mazhab
sahabat tidak termasuk dalil syar’i." (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah
Al-Islamiyah, III/411).
Mengenai periwayatan
ath-Thahawi dari Yahya bin Aktsam bahwa dia berkata,"Aku mendapati
pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada
yang berbeda pendapat dengan mereka", tidaklah dapat diterima. Mahmud
Abdul Latif Uwaidhah dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam hal.210
mengatakan,"Sesungguhnya riwayat-riwayat dari sahabat ini tidaklah
terbukti, sebab riwayat-riwayat itu berasal dari jalur-jalur riwayat yang lemah
[dhaif]. Maka ia wajib ditolak dan tidak boleh ditaqlidi atau diikuti."
Masalah Waktu Qadha
Adapun waktu qadha`,
yang rajih adalah pendapat jumhur, bukan pendapat Imam Abu Hanifah, rahimahullah.
Jadi mengqadha` puasa Ramadhan itu waktunya terbatas, bukan lapang (muwassa`)
sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah. Maka qadha wajib dilakukan sebelum
masuknya Ramadhan berikutnya. Jika seseorang menunda qadha tanpa udzur hingga
masuk Ramadhan berikutnya, dia berdosa.
Dalilnya adalah
hadits A`isyah RA di atas bahwa dia berkata,"Aku tidaklah mengqadha`
sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan
Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW." (HR. At-Tirmidzi, Ibnu
Khuzaimah, dan Ahmad, hadits sahih). (Terdapat hadits-hadits yang semakna
dalam lafazh-lafazh lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871-872, hadits no. 1699).
Memang hadits di
atas adalah hadits mauquf yaitu merupakan perbuatan, perkataan, dan diamnya
sahabat, yang dalam hal ini adalah perkataan dan/atau perbuatan ‘Aisyah RA.
Jadi ia memang bukan hadits marfu’, yaitu hadits yang isinya adalah perbuatan,
perkataan, dan diamnya Rasulullah SAW.
Namun adakalanya
sebuah hadits itu mauquf, tapi dihukumi sebagai hadits marfu’. Para ulama
menyebut hadits semacam ini dengan sebutan al-marfu’ hukman, yakni
hadits yang walaupun secara redaksional (lafzhan) adalah hadits mauquf
tetapi secara hukum termasuk hadits marfu’ (Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah
al-Hadits, hal. 131).
Hadits al-marfu’
hukman mempunyai ciri antara lain bahwa objek hadits bukanlah lapangan
pendapat atau ijtihad. Dengan kata lain, bahwa seorang sahabat tidaklah
berkata, berbuat, atau berdiam terhadap sesuatu kecuali dia telah memastikan
bahwa itu berasal dari Nabi SAW (Shubhi Shalih, ‘Ulumul Hadits wa
Musthalahuhu, hal. 207-208).
Mengenai hadits
‘A`isyah RA di atas terdapat indikasi bahwa ia adalah al-marfu’ hukman. Mahmud
Abdul Latif Uwaidhah menjelaskan dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam hal.
123-124 dengan mengatakan :
"Adalah jauh
sekali, terjadi perbuatan itu dari ‘A`isyah ---yang tinggal dalam rumah
kenabian— tanpa adanya pengetahuan dan persetujuan (iqrar) dari
Rasulullah SAW. Nash ini layak menjadi dalil bahwa batas waktu terakhir untuk
mengqadha` puasa adalah bulan Sya’ban. Artinya, qadha` hendaknya dilaksanakan sebelum
datangnya Ramadhan yang baru. Jika tidak demikian, maka seseorang telah
melampaui batas. Kalau qadha` itu boleh ditunda hingga datangnya Ramadhan yang
baru, niscaya perkataan ‘A`isyah itu tidak ada faidahnya. Lagi pula pendapat
mengenai wajibnya mengqadha` sebelum datangnya Ramadhan yang baru telah
disepakati oleh para fuqaha, kecuali apa yang diriwayatkan dari Imam Abu
Hanifah, rahimahullah."
Kesimpulan
Dari seluruh uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan,
hanya berkewajiban qadha`, tidak wajib membayar fidyah. Adapun dalam hal waktu
mengqadha`, qadha` wajib dilaksanakan selambat-lambatnya pada bulan Sya’ban dan
berdosa jika seseorang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya. Wallahu
a’lam [ ]
Yogyakarta, 22
September 2007
Oleh : Muhammad Shiddiq
Al-Jawi
0 Response to "BELUM QADHA` PUASA, RAMADHAN SUDAH DATANG LAGI"
Post a Comment