Tanya : Saya berpuasa Senin Kamis
tidak dawam tapi sering, bolehkah diteruskan pada pertengahan akhir bulan
Sya’ban? (08125xxxxx)
Jawab :
Terdapat ikhtilaf di
kalangan ulama dalam hal hukum berpuasa sunnah (tathawwu’) pada
pertengahan akhir dari bulan Sya’ban. Ada tiga pendapat. Jumhur ulama
membolehkan. Namun ada yang memakruhkan, seperti Imam Ar-Rauyani dari ulama
Syafi’iyah; dan ada pula ulama yang mengharamkan, seperti pendapat banyak ulama
Syafi’iyah (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/249; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul
Islami wa Adillatuhu, II/583; Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171;
Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hal. 889).
Menurut pentarjihan
kami, wallahu a’lam, berpuasa sunnah pada pertengahan akhir Sya’ban
hukumnya adalah haram, kecuali jika seseorang sudah terbiasa melakukan puasa
sunnah sebelumnya. Inilah pendapat para ulama Syafi’iyah, seperti Imam Syirazi
sebagaimana dalam kitabnya Al-Muhadzdzab Juz I hal. 189.
Dalil keharamannya
adalah sabda Nabi SAW : "Jika bulan Sya’ban telah sampai pertengahan,
maka janganlah kamu berpuasa hingga datang Ramadhan!" (idzaa
[i]ntashofa Sya’baanu falaa tashuumuu hattaa yakuuna ramadhaanu). (HR
Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidziy, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah; dari Abu Hurairah
RA). Hadits ini shahih menurut Ibnu Hibban, dan hasan menurut Imam Suyuthi.
(Lihat Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171; Imam Suyuthi, Al-Jami’ush
Shaghir, I/21).
Hadits Abu Hurairah
itulah yang menjadi dalil keharaman menurut para ulama mazhab Syafi’i. Meski
demikian, ada ulama yang menganggap hadits itu lemah (dhaif), seperti
Imam Ahmad, rahimahullah, sehingga berpuasa sunnah pada pertengahan
akhir Sya’ban tidaklah haram menurut beliau. Karena menurut Imam Ahmad pada
hadits itu ada perawi yang lemah, yaitu al-‘Ala` bin Abdurrahman. Imam
Ahmad dan Ibnu Ma’in berkata,"Sesungguhnya hadits itu munkar."
(innahu munkar). (1) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 889).
Akan tetapi, kami
lebih condong kepada pendapat ulama yang menghasankan hadits tersebut. Imam
Shan’ani berkata,"Dan dia [Al-‘Ala` bin Abdurrahman] termasuk
perawi-perawi hadits Imam Muslim." (wa huwa min rijaal muslim).
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata dalam kitabnya At-Taqrib,"Sesungguhnya
dia [Al-‘Ala` bin Abdurrahman] adalah orang yang jujur meski kadang-kadang
berbuat waham (mempunyai persangkaan yang lemah)." (innahu shaduuq wa
rubbamaa wahama). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171). Maka dari
itu, hadits di atas dalam pentarjihan kami adalah hadits hasan, yang dapat
dijadikan hujjah (yuhtajju bihi). Imam Suyuthi menghasankan hadits
tersebut (Lihat Imam Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, I/21).
Dengan demikian
jelaslah, bahwa dengan dalil hadits tersebut, berpuasa sunnah setelah
pertengahan Sya’ban hukumnya adalah haram. Kecuali jika seseorang sudah
terbiasa berpuasa sunnah sebelumnya maka hukumnya tidak haram. Imam Shan’ani
berkata,"Hadits di atas adalah dalil larangan berpuasa setelah pertengahan
Sya’ban. Akan tetapi larangan itu muqayyad (ada dalil lain yang
mengecualikannya) yaitu hadits Nabi,"kecuali bertepatan dengan puasa yang
sudah biasa dilakukannya" (illa an yuwaafiqa shauman mu’taadan).
(Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171).
Sebelum kami akhiri,
kami tambahkan satu penjelasan untuk menambah faidah. Yaitu diskusi (munaqasyah)
mengenai pendapat ulama yang membolehkan puasa sunnah setelah pertengahan
Sya’ban. Mereka berdalil antara lain dengan hadits dari Ummu Salamah RA bahwa
Nabi SAW tidak pernah berpuasa satu bulan penuh dalam setahun kecuali pada
bulan Sya’ban yang bersambung pada bulan Ramadhan (anna an-nabiyya
shallallahu ‘alaihi wa sallama lam yakun yashuumu min as-sanati syahran taamman
illaa sya’baana yashilu bihi ramadhaana) (HR. Khamsah). (Imam
Syaukani, Nailul Authar, hal. 879; hadits no.1722).
Kami tidak sepakat
dengan pendapat yang membolehkan itu, karena hadits Ummu Salamah ini
bertentangan (taa’rudh) dengan hadits Abu Hurairah di atas. Padahal
dalam ushul fiqih terdapat kaidah bahwa hadits qauli (ucapan Nabi) lebih
diutamakan daripada hadits fi’li (perbuatan Nabi). Hadits Abu Hurairah
sebagai hadits qauli (ucapan Nabi) lebih diutamakan daripada hadits Ummu
Salamah yang merupakan hadits fi’li (perbuatan Nabi). (Imam Shan’ani, Subulus
Salam, II/171).
Sejalan dengan itu,
menurut kami, pertentangan (taa’rudh) kedua hadits di atas hakikatnya
hanyalah pada lahiriahnya saja. Artinya, masih dimungkinkan melakukan kompromi
(jama’) di antara kedua hadits tersebut. Jika bertentangan hadits
qauli dengan hadits fi’li pada suatu perbuatan, dalam keadaan tidak
diketahui mana dari keduanya yang lebih dulu, maka menurut Imam Taqiyuddin
an-Nabhani, rahimahullah, berarti bahwa hadits qauli itu berlaku
untuk umat Islam, sedang hadits fi’li berarti merupakan hukum khusus (khususiyat)
bagi Nabi SAW (Lihat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah
Al-Islamiyah, Juz III (Ushul Fiqih), pada Bab At-Ta’arudh Bayna Fi'lin
An-Nabiy wa Qaulihi, hal. 107-110).
Dengan demikian,
kedua hadits tersebut dapat dijama’ dengan menghasilkan satu pemahaman, bahwa
kebolehan berpuasa setelah pertengahan Sya’ban adalah merupakan khususiyah
Nabi, sedangkan bagi umat Islam, hukumnya adalah haram. Inilah pendapat yang rajih
(kuat) menurut kami. Wallahu a’lam [ ]
Yogyakarta, 30
Agustus 2007
Catatan :
(1) Hadits Munkar
adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif, menyalahi apa yang
diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (definisi Ibnu Hajar Al-Asqalani).
Definisi kedua, hadits munkar adalah hadits yang dalam isnadnya ada perawi yang
banyak kesalahannya [dalam menyampaikan hadits], atau banyak kelengahannya
[dalam menerima hadits], atau jelas kefasikannya (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir
Musthalah Al-Hadits, hal. 95-96; Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul
Hadits, hal. 158-159).
Oleh : Muhammad Shiddiq al-Jawi
0 Response to "HUKUM BERPUASA PADA PERTENGAHAN AKHIR SYA’BAN"
Post a Comment