
Tanya
: Ustadz, apa dalil
dilarangnya poliandri? Soalnya ada feminis yang tanya saya (Ivan,
08132xxxxxx)
Jawab :
Poliandri adalah
pernikahan seorang perempuan dengan lebih dari satu suami (Lihat :
http://en.wikipedia.org/wiki/Polygyny). Hukum poliandri adalah haram berdasarkan
Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Dalil Al-Qur`an,
adalah firman Allah SWT :
"dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki." (QS An-Nisaa` [4] : 24)
Ayat di atas yang
berbunyi "wal muhshanaat min al-nisaa` illa maa malakat aymaanukum"
menunjukkan bahwa salah satu kategori wanita yang haram dinikahi oleh
laki-laki, adalah wanita yang sudah bersuami, yang dalam ayat di atas disebut al-muhshanaat.
Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (Beirut :
Darul Ummah, 2003) hal. 119 : "Diharamkan menikahi wanita-wanita yang
bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka
menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah."
Pendapat tersebut
sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa kata muhshanaat
yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka (al-haraa`ir),
tetapi wanita yang bersuami (dzawaatul azwaaj) (Al-Umm, Juz
V/134).
Imam Syafi’i
menafsirkan ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan :
"Wanita-wanita
yang bersuami –baik wanita merdeka atau budak— diharamkan atas selain
suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena
kematian, cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak
perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan
bersamanya)… (bi-anna dzawaat al-azwaaj min al-ahraar wa al-imaa` muharramaatun
‘ala ghairi azwaajihinna hatta yufaariquhunna azwajuhunna bi-mautin aw furqati
thalaaqin, aw faskhi nikahin illa as-sabaayaa…) (Imam Syafi’i, Ahkamul
Qur`an, Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1985, Juz I/184).
Jelaslah bahwa
wanita yang bersuami, haram dinikahi oleh laki-laki lain. Dengan kata lain,
ayat di atas merupakan dalil al-Qur`an atas haramnya poliandri.
Adapun dalil
As-Sunnah, bahwa Nabi SAW telah bersabda :
"Siapa saja
wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang sah] wanita
itu adalah bagi [wali] yang pertama dari keduanya." (ayyumaa
`mra`atin zawwajahaa waliyaani fa-hiya lil al-awwali minhumaa) (HR Ahmad,
dan dinilai hasan oleh Tirmidzi) (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar,
hadits no. 2185; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Hadits di atas
secara manthuq (tersurat) menunjukkan bahwa jika dua orang wali
menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka
yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama (Imam
Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Berdasarkan dalalatul
iqtidha`1), hadits tersebut juga menunjukkan bahwa tidaklah sah pernikahan
seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja.
Makna (dalalah)
ini –yakni tidak sahnya pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu suami
saja – merupakan makna yang dituntut (iqtidha`) dari manthuq hadits,
agar makna manthuq itu benar secara syara’. Maka kami katakan bahwa dalalatul
iqtidha` hadits di atas menunjukkan haramnya poliandri.
Dengan demikian,
jelaslah bahwa poliandri haram hukumnya atas wanita muslimah berdasarkan
dalil-dalil al-Qur`an dan As-Sunnah yang telah kami sebutkan di atas. Wallahu
a’lam [ ]
Yogyakarta, 7
Pebruari 2007
- - - -------------
1) Dalalatul
iqtidha` adalah makna yang tidak terucap dalam lafal teks ayat atau hadits,
namun merupakan keharusan makna yang mesti ada agar makna-makna lafal itu
bernilai benar, baik bernilai benar karena tuntutan akal maupun tuntutan
syara’. Pembahasan dalalatul iqtidha` lebih mendalam dan
contoh-contohnya lihat kitab-kitab ushul fiqih (Imam Asy-Syaukani, Irsyadul
Fuhul, hal. 178; Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Al-Fiqh, hal.
150; Syaikh al-Hudhari Bik, Ushul al-Fiqh, hal. 121; Wahbah az-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, Juz I/355; Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah
al-Islamiyah, Juz III/177; ‘Atha ibn Khalil, Taysir al-Wushul ilaa
al-Ushul, hal. 161).
Oleh : Muhammad Shiddiq
al-Jawi
0 Response to "DALIL HARAMNYA POLIANDRI"
Post a Comment