
SOAL
: Ustadz,
bolehkah kita menghadiahkan bacaan al-Fatihah untuk Rasulullah SAW, atau untuk
saudara-saudara kita baik yang sudah mati maupun yang masih hidup? (Idham,
Majene, Sulsel)
JAWAB :
Ketika seseorang
menghadiahkan pahala bacaan al-Qur`an kepada orang yang sudah mati, para ulama
berbeda pendapat, apakah pahalanya akan sampai atau tidak. Imam Malik dan Imam
Syafi'i berpendapat pahalanya tidak sampai. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam
Ahmad berpendapat pahalanya sampai (Imam ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah,
hal. 53; Imam Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi, hadits no. 605; Imam
Syamsul Haq-Abadi, 'Aun al-Ma'bud, hadits. no. 2494)
Ulama yang
berpendapat pahalanya tidak sampai kepada si mati, berdalil dengan ayat :
"dan bahwasanya
seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya
." (QS An-Najm
: 39)
Ibnu Katsir
menyatakan,"Dari ayat ini, Imam Syafi'i dan para pengikutnya menyimpulkan
bacaan al-Qur`an tidak akan sampai pahalanya jika dihadiahkan kepada orang yang
telah mati. Sebab bacaan al-Qur`an itu bukan berasal dari perbuatan maupun
usaha si mati." (Tafsir Ibnu Katsir, IV/259).
Namun para ulama
yang berpendapat pahalanya sampai, pemahamannya lain. Mereka mengatakan
keumuman ayat di atas telah dikecualikan (di-takhsis) dengan berbagai
dalil khusus yang menyatakan sampainya pahala ibadah/ketaatan kepada si mati
(Imam Syaukani, Fathul Qadir, V/114).
Menurut Imam
Syaukani dalil sahnya hadiah pahala bacaan al-Qur`an untuk orang yang sudah
mati adalah sabda Nabi SAW,"Bacakanlah kepada orang-orang yang sudah
meninggal di antara kamu surat Yasin" (Arab : iqra`uu 'ala mautaakum
yaasiin) (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Hakim; hadits
hasan, Imam As-Suyuthi, al-Jami' al-Shaghir, I/52).
Maksud mautaakum dalam
hadits itu ialah "orang-orang yang sudah meninggal di antara
kamu", bukan "orang-orang yang hendak meninggal di antara
kamu." Demikian penegasan Imam Syaukani yang mengartikan mautaakum dalam
makna hakikinya (makna sebenarnya), untuk membantah ulama seperti al-Khaththabi
yang mengartikannya secara majazi (kiasan), yaitu "orang-orang yang hendak
meninggal." (Nailul Authar, hal. 776-778; Subulus Salam,
II/91).
Pengasuh cenderung
kepada pendapat Imam Syaukani ini, bahwa hadits itu hendaknya diartikan dalam
makna hakikinya, bukan makna majazinya. Sebab sebagaimana dinyatakan oleh Imam
Taqiyuddin an-Nabhani, jika suatu kata dapat diartikan secara hakiki dan majazi
secara bersamaan, maka mengartikannya dalam makna hakiki adalah lebih kuat (rajih),
sedang mengartikannya dalam makna majazi adalah lemah (marjuh) (asy-Syakhshiyyah
al-Islamiyah, III/143).
Atas dasar itulah,
menurut pengasuh, jika kita menghadiahkan pahala bacaan al-Qur`an kepada
Rasulullah SAW, para imam dan ulama, atau saudara-saudara kita yang sudah
meninggal, insya Allah pahalanya akan sampai kepada mereka.
Namun jika
saudara-saudara kita masih hidup, hadiah pahala bacaan al-Qur`an itu tidak akan
sampai. Sebab di sini berlaku mafhum mukhalafah (pengertian kebalikan)
dari hadits di atas, yaitu janganlah kamu bacakan Yasin kepada orang-orang yang
masih hidup di antara kamu. [ ]
Bogor, 6 April 2006Oleh : Muhammad Shiddiq al-Jawi
0 Response to "MENGHADIAHKAN PAHALA BACAAN AL-QUR`AN"
Post a Comment