
Soal : Ada suami dan
isteri yang belum punya anak. Suatu saat si suami terkena penyakit kanker yang
parah. Sebelum meninggal spermanya diambil dan diawetkan. Suami itu pun
berwasiat sebelum meninggal, agar spermanya kelak digunakan untuk membuahi
isterinya untuk memperoleh keturunan. Setelah suami itu meninggal, wasiat itu
benar-benar dilakukan. Bagaimana pandangan Islam terhadap fakta ini, yaitu
pembuahan dengan sperma suami yang diawetkan setelah suami meninggal? (Nunung B
Aji, Yogya)
Jawab : Pembuahan (fertilisasi)
dengan sperma suami yang diawetkan setelah suami meninggal, hukumnya haram
menurut syara’. Sebab setelah suami meninggal, maka secara syar’i telah terjadi
perceraian antara suami itu dengan isterinya. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri-isteri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Qs. al-Baqarah [2]: 234).
Ayat ini menjelaskan bahwa para isteri yang suaminya
meninggal, sedang para isteri tidak dalam keadaan hamil, wajib menjalani masa
iddah selama empat bulan sepuluh hari. Setelah masa iddah selesai maka mereka
boleh menikah lagi. Artinya para isteri itu sebenarnya telah bercerai dengan
suaminya yang meninggal, sejak suami meninggal, dan statusnya bukan lagi suami
isteri.
Atas dasar itu, haram hukumnya terjadi pembuahan atas (bekas
isteri) dari sperma suami yang diawetkan. Sebab mereka berdua bukan suami
isteri lagi sejak suami meninggal.
Selain dalil di atas, terdapat dalil lain yang juga
mengharamkan pembuahan seperti fakta tadi. Allah SWT berfirman:
“Isteri-isterimu (seperti) tanah tempat bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki…”
(Qs. al-Baqarah [2]: 223).
Ayat itu secara umum menunjukkan bolehnya mendatangi tanah
tempat bercocok tanam (vagina isteri) dengan cara (kaifiyah) bagaimana saja
sesuai kehendak suami. Termasuk dalam keumuman ayat ini adalah pembuahan
(fertilisasi) dengan berbagai macam tekniknya. Misalnya melalui teknik
inseminasi buatan (artificial insemination), yaitu pembuahan dengan cara
mengambil sperma suami, lalu disuntikkan ke dalam rahim isteri. Dapat pula
digunakan teknik bayi tabung (Fertilization in Vitro), yaitu pembuahan dengan
cara mengambil sperma suami dan sel telur isteri, lalu keduanya diletakkan
dalam cawan sehingga terjadi pembuahan. Setelah sel telur yang dibuahi menjadi
zigot dan mengalami pembelahan sel menjadi embrio (calon janin), maka embrio
ini —yang biasanya terdiri atas empat sel— ditransfer ke dalam rahim isteri
(Syeichul Hadipermono, Bayi Tabung dan Rekayasa Genetika, Surabaya: Wali Demak
Press, 1995, hal. 10).
Jadi, secara umum, ayat di atas menurut pengertian
manthuq-nya, yaitu pengertian sebagaimana yang terucap, menunjukkan bolehnya
melakukan pembuahan dengan cara bagaimana saja. Tetapi, itu hanya boleh
dilakukan oleh suami kepada para isteri-isterinya, sesuai bunyai manthuq ayat
“nisâ’ukum hartsun lakum” (isteri-isteri kamu [bagaikan] tanah tempat bercocok
tanam kamu). Mafhum mukhalafah (pengertian yang berkebalikan dengan manthuq)
dari ayat itu, bahwa perempuan yang bukan isteri-isteri kamu, bukanlah tanah
tempat bercocok tanam milik kamu (ghairu nisâ’ikum laysa hartsan lakum). Mafhum
mukhalafah ini sejalan dengan hadits Nabi Saw:
“Lâ yahillu li’mri’in yu’minu billahi wal yaumil akhiri an
yasqiya mâ’ahu zar’a ghairihi.” (Tidak halal bagi orang yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir untuk menyiramkan airnya [spermanya] pada tanaman orang
lain). [HR Abu Dawud, dari Ruwaifi’ bin Tsabit Al-Anshari ra].
Dengan demikian, mafhum mukhalafah ayat di atas menunjukkan
keharaman pembuahan sperma suami kepada perempuan yang bukan isterinya,
termasuk dalam hal ini adalah pembuahan kepada bekas isteri yang telah dicerai
mati sebagaimana dalam kasus di atas.
Kesimpulannya, haram hukumnya menurut syariah Islam
dilakukan pembuahan terhadap isteri dengan sperma suami yang diawetkan setelah
suami itu meninggal dunia, sebab setelah suami meninggal sebenarnya sudah tak
ada lagi ikatan suami isteri di antara mereka berdua. Wallahu a’lam
Oleh :
M. Shiddiq al-Jawi
0 Response to "PEMBUAHAN DENGAN SPERMA SUAMI YANG DIAWETKAN SETELAH SUAMI MENINGGAL"
Post a Comment