Soal :
Ustadz, saya punya teman, Robert
(bukan nama sebenarnya). Dia anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya
perempuan. Ketika orang tuanya menikah ayahnya beragama Kristen sedangkan
ibunya beragama Islam. Mereka menikah di Kantor Catatan Sipil. Namun, setelah
anak-anak mereka dewasa (waktu Robert semester dua), ayahnya masuk Islam. Kedua
orang tuanya pun melakukan pernikahan ulang, bahkan kedua orang tuanya sudah
berangkat haji. Yang menjadi pertanyaan adalah :
1. Bagaimana status
nasab Robert, dan kakak adiknya?
2. Bagaimana hak
waris untuk Robert dan kakak adiknya?
3. Bagaimana hak
perwalian untuk kedua kakak adiknya? (Julaikha Chairunisa, Bekasi)
Jawab :
1. Pendahuluan
Pengasuh merasa
turut gembira dan bersyukur bahwa ayah Robert sudah masuk Islam. Alhamdulillah.
Sungguh, hidayah ini adalah anugerah yang tak ternilai dari Allah SWT. Betapa
tidak, dengan masuk Islam, ayah Robert berarti telah keluar dari kegelapan
menuju cahaya terang, dan telah selamat dari ancaman kekal di neraka. Allah SWT
berfirman :
"Allah
Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya
kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal
di dalamnya."
(QS Al-Baqarah
[2] : 257)
Pengasuh berdoa
kepada Allah agar ayah Robert terus istiqomah dalam iman Islam hingga akhir
hayat, serta senantiasa bertakwa kepada Allah SWT. Amin. Allah SWT berfirman :
"Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya
takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam."
(QS Ali Imran [3]
: 102)
2. Nasab
Nasab Robert dan
kakak adiknya bergantung pada status pernikahan yang pertama dari ayah ibunya,
bukan pernikahan yang kedua (yang diulang) setelah ayah Robert masuk Islam.
Sebab Robert dan kakak adiknya adalah anak-anak hasil pernikahan yang pertama
(di Kantor Catatan Sipil), bukan anak-anak hasil pernikahan setelah ayah Robert
masuk Islam.
Pernikahan ayah
Robert waktu masih Kristen dengan ibunya yang beragama Islam adalah tidak sah.
Sebab haram hukumnya seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki non
muslim, baik Ahli Kitab (beragama Yahudi maupun Nasrani) maupun musyrik. Dalil
keharamannya antara lain firman Allah SWT :
"Mereka
(perempuan-perempuan beriman) tiada halal bagi orang-orang kafir, dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka."
(QS Al-Mumtahanah
[60] : 10)
Tidak ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama mengenai haramnya wanita muslimah menikah dengan
laki-laki kafir. Seluruh ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali
sepakat mengenai keharamannya. (Lihat Syaikh Abdurrahan Al-Jaziri, Al-Fiqh
‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz IV, hal. 188).
Jika ada pendapat
yang membolehkan pernikahan semacam itu, maka pendapat itu batil dan jelas
tidak benar. Sebab pendapat itu nyata-nyata melawan nash Al-Qur`an yang qath’i
(pasti maknanya) serta bertentangan dengan kesepakatan seluruh ulama. Yang
berpendapat seperti itu sebenarnya bukan ulama atau intelektual muslim,
melainkan intelektual liberal-sekular yang berkiblat kepada ideologi Barat,
bukan berkiblat kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah (Lihat misalnya pendapat
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif
Pluralis, 2004, hal. 164).
Jelaslah bahwa
pernikahan ayah Robert waktu masih Kristen dengan ibunya yang beragama Islam
adalah tidak sah. Dengan demikian, anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan
tersebut adalah anak-anak yang lahir di luar pernikahan yang sah. Dalam istilah
hadits dan fiqih, anak-anak itu disebut anak zina (waladuz zina).
Maksudnya, anak-anak yang dilahirkan karena zina, bukan karena hubungan suami
isteri yang sah menurut agama Islam. Rasulullah SAW bersabda,"Siapa
saja laki-laki yang berzina dengan wanita merdeka atau wanita budak, maka
anaknya adalah anak zina (waladu zina), yang tidak mewarisi [laki-laki itu] dan
tidak diwarisi [oleh laki-laki itu]." (HR Tirmidzi) (Imam
Syaukani, Nailul Authar, hadits no 2567, hal. 1217).
Bagaimana nasab anak
zina? Nasab anak zina adalah kepada ibunya. Anak zina terputus nasabnya dari
bapaknya. Dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW dalam masalah ini. Sahal bin
Sa’ad RA berkata,"Pernah ada wanita hamil [karena zina] dan anaknya
dinasabkan kepada ibunya, maka berlakulah ketentuan As-Sunnah yaitu anak itu
mewarisi ibunya dan ibunya mewarisi anaknya dari harta waris yang ditetapkan
oleh Allah bagi ibunya." (HR Bukhari dan Muslim) (Imam
Syaukani, Nailul Authar, hadits no 2565, hal. 1217).
Ibnu Abbas RA
berkata,"Rasulullah SAW pernah melangsungkan li’an antara Hilal bin
Umayyah dengan isterinya dan memisahkan di antara keduanya. Dan Rasulullah SAW
memutuskan bahwa anaknya tidak dipanggil dengan nama bapaknya." (HR
Ahmad dan Abu Dawud). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hadits no 2933,
hal. 1363).
Dari dalil-dalil
hadits tersebut jelaslah bahwa anak zina dinasabkan kepada ibunya. Anak zina
telah terputus nasabnya dengan bapaknya. Jadi, Robert dan kakak adiknya
dinasabkan kepada ibunya, bukan kepada bapaknya.
3. Hak Waris
Robert dan kakak
adiknya berhak mendapatkan waris dari ibu mereka saja, tidak dari bapak mereka.
Demikian pula ibu mereka (bukan bapak mereka) berhak mendapat waris dari Robert
dan kakak adiknya. Dalilnya adalah hadits sahih di atas, yakni hadits riwayat
Sahal bin Sa’ad RA bahwa ia berkata,"…maka berlakulah ketentuan
As-Sunnah yaitu anak itu mewarisi ibunya dan ibunya mewarisi anaknya dari harta
waris yang ditetapkan oleh Allah bagi ibunya." (HR Bukhari dan
Muslim)
Jadi, jika ibu
mereka meninggal, Robert dan kakak adiknya berhak mewarisi harta ibu mereka.
Sebaliknya andaikata Robert atau kakak adiknya ada yang meninggal, maka ibu
mereka dan juga kerabat-kerabat ibu mereka (yang menjadi ahli waris) berhak
mewarisi harta Robert atau kakak adiknya (Imam Syaukani, Nailul Authar,
hal. 1218).
Sedangkan bapak
mereka, meskipun sudah masuk Islam, tidak mempunyai hubungan waris-mewarisi
dengan Robert dan kakak adiknya. Sebab tidak ada hubungan nasab antara bapak
mereka dengan Robert serta kakak adiknya. Rasulullah SAW bersabda,"Siapa
saja laki-laki yang berzina dengan wanita merdeka atau wanita budak, maka
anaknya adalah anak zina (waladu zina), yang tidak mewarisi [laki-laki itu] dan
tidak diwarisi [oleh laki-laki itu]." (HR Tirmidzi).
Namun demikian,
masuk Islamnya ayah Robert mempunyai pengaruh terhadap hukum waris dengan ibu
Robert. Pada saat ayah Robert masih Kristen, dia tidak mempunyai hubungan
waris-mewarisi dengan ibu Robert. Sebab dalam hukum waris Islam, seorang muslim
tidak boleh mewarisi harta kafir dan seorang kafir tidak boleh pula mewarisi
harta muslim. Rasulullah SAW bersabda,"Seorang muslim tidak mewarisi
kafir dan seorang kafir [juga] tidak mewarisi muslim." (HR Jama’ah,
kecuali Muslim dan Nasa`i) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hadits no.
2580, hal. 1222).
Karena itu, pada
saat ayah Robert masuk Islam, terwujudlah hubungan waris-mewarisi dengan ibu
Robert, bukan dengan Robert dan kakak adiknya. Sebab status Robert dan kakak
adiknya sebagai anak zina tidaklah berubah dengan masuk Islamnya ayah Robert.
Akan tetapi, menurut
pengasuh, tidak ada larangan ayah Robert memberikan hartanya kepada Robert dan
kakak adiknya, asalkan bukan pemberian karena waris. Ketika ayah Robert masih
hidup, boleh dia menghibahkan hartanya kepada Robert dan kakak adiknya. Setelah
meninggal, ayah Robert boleh mewasiatkan (bukan mewariskan) hartanya kepada
Robert dan kakak adiknya. Sebab dibolehkan seseorang mewasiatkan hartanya
setelah dia mati, asalkan bukan kepada ahli waris dan jumlahnya maksimal
sepertiga dari harta orang itu.
4. Wali Nikah
Ayah Robert tidak
berhak menjadi wali nikah bagi kakak adik Robert yang perempuan. Sebab antara
ayah Robert dengan kakak adik Robert sebenarnya tidak ada hubungan nasab.
Dalam keadaan
demikian, wali nikah kakak adik Robert adalah wali hakim (dari pemerintah).
Rasulullah SAW bersabda,"Tidak sah nikah kecuali dengan wali. Siapa
saja perempuan yang dinikahkan tanpa izin walinya maka nikahnya batil, batil,
batil. Maka jika perempuan itu tidak mempunyai wali, maka penguasa (sulthaan)
adalah wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali." (HR Abu
Dawud) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hadits no. 2664, hal. 1254)
Demikianlah jawaban
pengasuh. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 12 Oktober 2006Oleh : Muhammad Shiddiq al-Jawi
0 Response to "NASAB, HAK WARIS, DAN WALI NIKAH DARI AYAH MUALLAF"
Post a Comment