
Soal:
Ada yang menyatakan, bahwa menentukan awal-akhir
Ramadhan tidak harus dengan rukyat, tetapi bisa dengan hisab (perhitungan
astronomi), sebagaimana yang digunakan dalam menentukan waktu shalat. Apakah
memang boleh demikian? Jika tidak, mengapa? Bukankah, hisab boleh digunakan
dalam menentukan waktu shalat, berarti seharusnya boleh juga digunakan untuk
menentukan awal-akhir Ramadhan?
Jawab:
Untuk menjelaskan boleh dan tidaknya hal di
atas, kami akan jelaskan beberapa ketentuan sebagai berikut:
1- Allah SWT
meminta kita agar beribadah sebagaimana yang Dia perintahkan. Jika kita
beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang Dia perintahkan, maka kita telah
melakukan kesalahan, bahkan apa yang kita lakukan itu kita anggap baik dan benar
sekalipun.
2- Allah SWT
memerintahkan kita berpuasa dan berhariraya karena melihat hilal (rukyat al-hilal). Dia juga
telah menjadikan rukyat sebagai
sebab berpuasa dan berhari raya:
«صُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»
“Berpuasalah kalian
karena melihat bulan, dan berhari rayalah kalian karena melihatnya.” (HR. Muslim)
Jika kita telah melihat hilal Ramadhan, maka kita
berpuasa, dan jika kita melihat hilal
Syawal, maka kita pun berhari raya.
3- Jika kita tidak
melihat hilal
Syawal, misalnya, karena mendung benar-benar telah menyelimutinya, sekalipun hilal tersebut nyata-nyata
ada, tetapi kita tidak bisa melihatnya, karena ada penghalang (mendung) yang
menghalanginya, maka kenyataannya kita tidak akan berpuasa dan berhari raya
karena alasan awal bulan. Sebab, haditsnya dengan tegas menyatakan:
«فَإِنْ أُغْمِيَ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ»
“Jika mendung telah
menghalangi kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan Sya’ban.” (HR. Muslim)
4-
Allah SWT tidak membebani kita untuk beribadah kepada-Nya dengan cara yang
tidak Dia perintahkan. Misalnya, kalau seandainya hisab (perhitungan astronomi) menyatakan, bahwa
besok secara pasti adalah bulan Ramadhan —dimana pada zaman sekarang
perhitungan astronomi bisa menetapkan posisi bulan sejak bulan tersebut lahir
hingga bulan purnama, kemudian menyusut, serta menghitungnya dari waktu ke
waktu— tetapi faktanya kita memang benar-benar tidak bisa melihat hilal tersebut, karena
mendung misalnya, maka status orang yang berpuasa —karena perhitungan tersebut—
adalah dosa, meski dengan alasan bahwa Ramadhan memang benar-benar telah masuk.
Dia tetap dianggap berdosa, karena hilal
belum bisa dilihat, tetapi dia tetap berpuasa, padahal seharusnya dia
menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari. Setelah itu, baru berpuasa. Jadi, orang
yang berpuasa Ramadhan dalam kondisi seperti ini pada dasarnya berdosa, karena
dia telah melakukan pelanggaran. Sementara itu orang yang menyempurnakan
hitungan Sya’ban juga belum berpuasa, meski hilal
tadi nyata-nyata ada, tetapi tertutup awan, maka orang seperti ini
tetap mendapatkan pahala karena mengikuti hadits Nabi di atas.
5- Dari sini
tampak dengan jelas, bahwa kita tidak berpuasa dan berhari raya karena faktor
bulannya, tetapi karena melihat hilal.
Jika kita telah melihatnya, maka kita wajib berpuasa. Jika belum melihatnya,
maka kita pun tidak boleh berpuasa, sekalipun bulan tersebut —menurut
perhitungan astronomi— benar-benar telah masuk.
6- Jika ada
sejumlah saksi, dan mereka telah memberikan kesaksian terhadap rukyat, maka mereka pun harus
diperlakukan sama dengan kasus kesaksian yang lain. Jika saksinya Muslim dan
tidak Fasik, maka kesaksiannya bisa diterima. Jika saksi tersebut tampaknya
bulan Muslim, dan tidak adil, atau Fasik, maka kesaksiannya tidak boleh
diterima.
7- Penetapan
kefasikan saksi juga harus dilakukan melalui pembuktian syar’i, bukan
berdasarkan perhitungan astronomi. Dengan kata lain, perhitungan tersebut tidak
bisa digunakan untuk membangun hujah
(argumentasi). Misalnya, Anda mengatakan, “Beberapa jam lalu, telah terjadi
lahirnya anak bulan, sehingga sekarang tidak bisa dilihat…” Memang ada
perbedaan pendapat di kalangan ahli astronomi tentang tenggat waktu setelah
lahirnya anak bulan yang memungkinkan dilakukannya rukyat. Jadi, kesaksian yang menjadi saksi
perhitungan astronomi tersebut tidak boleh dijadikan hujah, tetapi
perhitungannya bisa dibahas, dan dinyatakan benar setelah melihat hilal. Dia juga boleh
ditanya, di mana hilal tersebut muncul, sementara yang lain menyaksikannya
secara langsung. Begitu seterusnya. Setelah itu, kesaksian rukyat tersebut diterima atau
ditolak berdasarkan prinsip ini.
8- Siapa saja yang
menelaah nas-nas yang menyatakan hukum puasa, pasti akan menemukan adanya
perbedaan antara nas-nas yang menyatakan hukum shalat. Puasa dan hari raya
telah dihubungkan dengan rukyat:
«صُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»
“Berpuasalah kalian
karena melihat bulan, dan berhari rayalah kalian karena melihatnya.” (HR. Muslim)
«
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ»
“Siapa saja di antara
kalian yang menyaksikan bulan (hilal Ramadhan), maka hendaknya dia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah [02]:
185)
Jadi, yang menentukan
(puasa dan hari raya) adalah rukyat.
Berbeda dengan nas-nas shalat, yang dihubungkan dengan waktu:
«أَقِمِ الصَّلاَةَ
لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ»
“Dirikanlah shalat,
karena matahari telah tergelincir.” (QS. Al-Isra’ [17]: 78)
«إِذَا
زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا»
“Jika matahari telah
tergelincir, maka shalatlah kalian.” (HR. at-Thabrani)
Jadi, praktik shalat
tergantung pada waktu, dan dengan cara apapun agar waktu shalat itu bisa
dibuktikan, maka shalat pun bisa dilakukan dengan cara tersebut. Jika Anda
melihat matahari untuk melihat waktu zawal
(tergelincirnya matahari), atau melihat bayangan agar Anda bisa
melihat bayangan benda, apakah sama atau melebihinya, sebagaimana yang
dinyatakan dalam hadits-hadits tentang waktu shalat; jika Anda melakukanya, dan
Anda bisa membuktikan waktu tersebut, maka shalat Anda pun sah. Jika Anda tidak
melakukannya, tetapi cukup dengan menghitungnya dengan perhitungan astronomi,
kemudian Anda tahu bahwa waktu zawal
itu jatuh jam ini, kemudian Anda melihat jam Anda, tanpa harus keluar untuk
melihat matahari atau bayangan, maka shalat Anda pun sah. Dengan kata lain,
waktu tersebut bisa dibuktikan dengan cara apapun. Mengapa? Karena Allah SWT
telah memerintahkan Anda untuk melakukan shalat ketika waktunya masuk, dan
menyerahkan kepada Anda untuk melakukan pembuktian masuknya waktu tersebut
tanpa memberikan ketentuan detail, tentang bagaimana cara membuktikannya.
Berbeda dengan puasa. Dia memerintahkan Anda berpuasa berdasarkan rukyat. Dia pun menentukan
sebab (berpuasa dan berhari raya) untuk Anda. Lebih dari itu, Dia menyatakan
kepada Anda: “Jika mendung menghalangi rukyat,
sehingga tidak terlihat, maka janganlah Anda berpuasa, meskipun hilal tersebut ada di balik
mendung, dimana Anda yakin hilal
tersebut ada melalui perhitungan astronomi.”
9- Allah SWT
adalah pencipta alam ini. Dialah yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. Pengetahuan tentang pergerakan bintang dan rinciannya adalah
anugerah dari Allah kepada umat manusia. Tetapi, Allah SWT tidak memerintahkan
kita untuk beribadah dengan berpijak kepada perhitungan astronomi, tetapi
memerintahkan kita untuk melakukan rukyat,
sehingga kita pun beribadah kepada-Nya sebagaimana yang diperintahkan, dan
tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang tidak diperintahkan.
Dengan demikian, hanya rukyat-lah satu-satunya
penentu dalam berpuasa dan berhariraya, bukan perhitungan astronomi. Berangkat
dari sana, maka saya tegaskan, bahwa perhitungan astronomi tersebut tidak boleh
digunakan untuk berpuasa dan berhariraya, tetapi hanya rukyat-lah satu-satunya yang
boleh. Sebab itulah yang dinyatakan dalam nas-nas syariah.
2 Syawal 1424 H
25 September 2003
Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi
0 Response to "PENENTUAN AWAL DAN AKHIR BULAN RAMADHAN"
Post a Comment